Haji, Kesalehan Sosial dan Kemiskinan

KabarIndonesia - Saat ini satu persatu ratusan ribu umat Islam Indonesia yang menunaikan ibadah haji di tanah suci Mekkah sudah mulai kembali ke tanah air. Mereka inilah yang memiliki potensi besar untuk mengaktualisasikan ajaran Islam secara lebih sempurna bagi kemaslahatan masyarakat luas.
Pengaktualisasian yang penulis maksud adalah peningkatan kesalehan sosial di lingkungan sekitar. Kesalehan sosial memiliki nilai strategis bagi perbaikan status ekonomi masyarakat secara keseluruhan. Ia merupakan pintu masuk bagi rasa kepedulian kita terhadap kondisi ekonomi masyarakat miskin.

Singkatnya, selain ditujukan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, ibadah haji juga harus dijadikan sebagai sarana menolong sesama yang mengalami kesulitan hidup. .
Namun, setelah sekian lama berlangsung, potensi besar aktualisasi ibadah haji bagi perbaikan kualitas hidup sehari-hari agaknya lebih merupakan harapan ketimbang kenyataan.

Sekembali dari tanah suci, tidak sedikit umat Islam Indonesia yang gagal mengaktualisasikan potensi besar ibadah haji bagi peningkatan kesalehan sosial. Tidak ada yang berubah, kecuali penembahan huruf "H." atau "Hj". di depan nama mereka. Padahal, ketika zaman Rasulullah, sahabat, dan tabi'in pengunaan gelar haji di depan nama tidak pernah dilakukan. Karena itu, penggunaan gelar haji sesungguhnya berpotensi merusak kesucian nilai ibadah.

Gelar haji merupakan bagian dari legitimasi formal dari tingkat spiritual seseorang. Memang, gelar itu memang hanya berhak disandang oleh mereka yang telah pergi ke tanah suci Mekkah guna menunaikan ibadah haji. Pertanyaanya, apakah legitimasi formal itu memiliki korelasi erat dengan kualitas spiritual secara substantif?

“Allah tidak melihat (kualitas iman) kamu sekalian dari pakaian dan atribut yang dipakai, tetapi dari (keimanan) yang ada dalam hati kamu sekalian.”, demikian menurut Rasulullah. Jika diletakkan dalam konteks ibadah haji, maka jelas artinya bahwa ukuran peningkatan kualitas iman tidak dilihat dari pencantuman gelar haji di depan nama, tetapi sejauh mana ibadah tersebut teraktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari (day to day).

Jadi, nilai substantif dari ibadah haji adalah ketika yang bersangkutan mampu meningkatkan kualitas kesalehan sosial dan sifat-sifat kemanusiaan lainnya sekembali dari menunaikan ibadah haji. Karena itu, mereka yang telah menunaikan ibadah haji, tetapi dalam kehidupan sehari-hari tidak mencerminkan peningkatan kualitas kesalehan sosial, maka sudah sepatutnya gelar haji itu ditanggalkan saja.

Haji merupakan wahana latihan bagi manusia untuk meningkatkan kualitas kesalehan sosial, seperti meredam keangkuhan, keserakahan, dan keinginan menindas terhadap sesama. Hal ini antara lain disimbolkan melalui pakaian yang dikenakan.

Ketika menjalankan ibadah haji kita diharuskan mengenakan pakaian ihram yang sederhana sehingga tidak mencerminkan strata sosial diri kita masing-masing. Yang ada ialah persamaan dari sisi kemanusiaan, persaudaraan, rasa solidaritas, dan kepekaan yang tinggi terhadap sesama. Bahkan, kita dianjurkan untuk rela mengorbankan apa pun miliki kita, sebagaimana dicontohkan oleh Nabi Ibrahim yang rela megorbankan putra tercintanya, Ismail.

Kiranya benar apa yang dikatakan oleh Ali Syariati bahwa pakaian melambangkan preferensi, status, dan perbedaan-perbedaan tertentu. Haji merupakan bagian dari serangkaian perjalanan menuju Allah Swt. Yang Mahasuci. Karena itu, manusia yang ingin menghadap-Nya kelak diharuskan dalam keadaan suci lahir batin.

Dalam menjalankan ibadah haji dibutuhkan kesiapan fisik, mental, materi, dan spiritual. Fenomena 'alumnus Mekkah' yang gagal menunjukkan peningkatan kualitas keberagamaannya sangat mungkin disebabkan oleh pemahaman yang minim dan ketidaksiapan dalam menjalankan ibadah haji. Rasulullah mengatakan, “Tidak ada haji yang balasannya surga selain haji yang mabrur” (HR Bukhari-Muslim).

Pada hadits lain, Rasulullah mengatakan bahwa haji mabrur adalah haji yang tidak diiringi, baik pada masa haji maupun setelahnya, dengan prektik-praktik negatif pasif dalam kehidupan sosialnya, “Siapa yang berhaji dengan niat semata-mata karena Allah, tidak berkata kotor dan berbuat fasik, maka ia akan menjadi sosok suci seperti bayi yang dilahirkan oleh ibunya.” (HR Bukhari).

Karena itu, wajar adanya haji mabrur menjadi dambaan dan cita-cita setiap kaum Muslim yang pergi ke tanah suci Mekkah. Namun, hal itu tidak dapat dicapai jika haji yang dilakukan tidak membekas sama sekali di hati untuk kemudian teraktualisasikan dalam perilaku sehari-hari pascahaji. Jelas kiranya bahwa makna substantif ibadah haji bukan terletak pada pencantuman gelar haji di depan nama kita, tetapi lebih kepada aktualisasi nilai-nilai simbolik peribadatan.

Jika tidak, maka ada baiknya bila Majelis Ulama Indonesia (MUI) mulai mempertimbangkan untuk mengeluarkan fatwa pengahpusan gelar haji bagi mereka yang pernah menjalankan rukun Islam kelima tersebut. (*)

* Bawono Kumoro, Peneliti Sosial Keagamaan pada Laboratorium Politik Islam Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta dan Alumnus UIN Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar