Ibadah Haji dan Komitmen Kepedulian Sosial

Praktek Ibadah Haji sebenarnya sarat dengan nilai-nilai kepedulian sosial, di antaranya dilihat dari ritual pakaian Ihram, larangan menumpahkan darah, Thawaf, dan Wuquf. Sejatinya, substansi nilai tersebut bisa diimplementasikan dalam kehidupan sosialnya ketika kembali ke tanah air, sehingga secara fungsional bisa berperan dalam usaha untuk menuntaskan problem kemiskinan bangsa ini.

Dalam ilmu fikih dikenal istilah penarikan hikmah dari satu ibadah (hikmah at-Tasyri’), sama pentingnya dengan pelaksanaan ibadah itu sendiri. Haji Mabrur yang diinformasikan oleh syari’at`, secara bahasa dan istilah mempunyai relasi kuat dengan kepedulian sosial. Kata mabrur yang berasal dari kata bir dalam bahasa arab diartikan sebagai kebaikan. Nah, dalam al-Qur’an makna itu dilebarkan bahwa kebaikan hanya diperoleh jika menafkahkan harta yang kita cintai untuk meringankan beban hidup orang lain di sekitar kita (QS ‘Ali Imran:9).

Begitu juga jika ditilik ibadah lainnya dalam rukun Islam setelah syahadat sebagai pengakuan akan Tuhan dan Nabi, seperti shalat, puasa dan zakat. Pelaksanaan shalat akan dianggap sebagai pendustaan agama, jika pelakunya tidak peduli terhadap penderitaan anak yatim dan para fakir-miskin (al-Ma’un:1-5). .Puasa sengaja didisain untuk melatih diri dengan biasa merasakan lapar-dahaga di siang hari, agar merasakan derita kaum papa (hadits bukhari-muslim). Secara tegas, kita temukan dalam zakat, yakni dengan mengeluarkan sebagian dari harta yang telah mencapai jumlah tertentu (nishab), untuk kaum dhu’afa (Qs at-Taubah 9:60).

Spirit komunalitas Haji setidaknya menyimpulkan kekaguman, sekaligus kekagetan. Di tengah negeri yang masih terlilit krisis ekonomi, jumlah kuota haji tidak mengalami perubahan yang signifikan, bahkan tahun ini grafiknya cenderung naik – terlepas dari adanya waiting list. Anehnya, problem kemiskinan tidak berbanding lurus dengan spirit komunalitas tadi. Sejatinya, secara organik dan fungsional ibadah haji memerankan dirinya dalam usaha untuk menuntaskan problem kemiskinan bangsa.

Saya kira, komunitas kaya yang mampu menunaikan haji dan telah berhaji semestinya siap jadi agen penting dalam mobilitas kepedulian sosial. Secara individual mereka mempunyai modal cukup dan sepulangnya dari perjalanan haji bisa memetik hikmah haji dengan merefleksikan “kesalehan sosial”-nya. Mendarmakan sebagian harta untuk dhu’afa, sama derajatnya dengan mengeluarkan biaya ke tanah suci bagi orang yang mampu.


Makna Luhur Ritual Haji

Praktek Ibadah haji, menurut M. Quraish Shihab (1992), sarat dengan kepedulian sosial. Pertama; afirmasi terhadap ego pribadi atas sesama yang dibuktikan dengan penanggalan pakaian yang biasa dipakai digantikan dengan hanya dua helai kain putih (kain ihram). Bukankah pakaian dalam prakteknya telah melahirkan kasta sosial, ekonomi, dan atau politik? yang mana dalam ritual ibadah haji itu diganti dengan kain sederhana yang warnanya sama dengan kain kafan (pembungkus mayat) sebagai simbol akhir sebuah persamaan ketika hidup berakhir.

Senada dengan itu, Ali Syari’ati (1980) mengatakan “di Miqat ini apapun ras dan sukumu, lepaskanlah semua pakaian yang engkau kenakan sehari-hari sebagai (a) serigala; yang melambangkan kekejaman dan penindasan, (b) tikus; yang melambangkan kelicikan, (c) anjing; yang melambangkan tipu daya, (d) kambing; yang melambangkan penghambaan. Lepaskan dan berperanlah sebagai manusia sesungguhnya”

Kedua; pelarangan terhadap perbuatan membunuh, menumpahkan darah, dan mencabut pepohonan. Pada dasarnya manusia berfungsi sebagai penjaga atas makhluk-makhluk lainnya untuk mencapai tujuan penciptaannya. Begitu juga larangan untuk memakai wangi-wangian, bercumbu atau berhubungan suami-isteri, dan menggunting kuku, yang semuanya itu melambangkan hiasan yang terkadang menyilaukan hakikat kemanusiaan itu sendiri.

Ketiga; mengelilingi ka’bah (thawaf) untuk mengingat isteri Nabi Ibrahim yang merupakan budak dari kalangan hitam ketika menggendong putranya, Isma’il. Akan tetapi, Tuhan telah menjadikannya mulia bukan karena kedudukan dan status sosialnya, tapi karena keyakinan dan usaha gigihnya untuk hijrah dari kebathilan menuju kebaikan, dari keterbekangan menuju peradaban.

Keempat; di ‘Arafah semua jamaah haji berkumpul di padang luas nan gersang wuquf (berhenti) sampai terbenam matahari. Praktek ini, sekali lagi, akan membuat setiap individu sadar akan status kemanusiaannya sebagai makhluk sosial yang tidak bisa hidup tanpa orang lain.

Kelima; keberangkatan ke Muzdalifah dengan mengumpulkan batu yang akan dipergunakan di Mina. Tahap akhir dari ibadah ini menyimpulkan bahwa setelah penyucian diri yang dilakukan dengan melaksanakan ritual-ritual tadi di atas, dituntaskan dengan melenyapkan musuh (melempari setan dengan batu) dalam diri kita dan memulai hidup sadar atas status kemanusiaan universal.

Substansi Haji Mabrur

Sejatinya, pandangan di atas bersemai dalam setiap denyut kehidupan meskipun tidak berangkat ke tanah suci. Artinya, substansi ibadah haji lebih dilihat sebagai titik strategis tanpa menegasikan hukum wajib haji itu sendiri. Karena, artikulasi nilai-nilai yang disimpulkan dalam ibadah haji tadi mempunyai korelasi kuat dengan kecendrungan peremehan atas realitas kemiskinan di sekeliling kita.

Ada cerita sufi yang menarik, yang diintrodusir oleh Cak Nur (1990), berkaitan dengan haji Mabrur. Satu saat, menurut Cak Nur, ada sepasang suami-isteri yang dikenal cukup taat beribadah dan mempunyai cukup bekal untuk melakukan ibadah haji. Hanya karena kebiasaan dia menolong sesama kaum yang lemah (mustadh’afin), ketika betemu dengan orang yang kelaparan, maka diberikanlah bekal yang seadanya tadi dan setelah itu pulang kembali ke kampungnya. Ketika sampai di rumah, suami-isteri itu dikejutkan oleh orang yang berjubah putih dan langsung menyalaminya. Dengan kaget mereka berkata, “kami tidak jadi hajinya”. Penyambut tadi menjawab, “kalian sudah jadi haji mabrur, karena tadi telah menyantuni orang meski tidak berangkat ke tanah suci”.

Dalam konteks ini, seolah mengajak kita sadar akan pesan suatu ibadah dan tidak terjebak pada formalitasnya semata. Dengan pengamalan semua nilai-nilai luhur ibadah haji, yakni kepedulian sosial, niscaya nestapa kemanusiaan yang melilit negeri ini sepertinya dapat diselesaikan. Karena, kemiskinan yang melanda tidak sedikit disebabkan oleh struktur sosial yang melingkupinya. Tanpa melakukan perubahan terhadap cara pandang atas problem kemiskinan dalam kacamata keberagamaan (baca: ibadah haji), pengentasan kemiskinan akan jauh panggang dari api.

Pandangan ini setidaknya dibangun dari kedudukan agama sebagai gugusan nilai yang bisa membentuk struktur masyarakat yang adil dan beradab. Islam, seperti diidamkan oleh Kuntowijoyo (1998), bisa menjadi lanskip teosentris-humanisme, yang membuat muslim tidak saja bersaksi akan adanya Tuhan dan Nabi, tapi selalu menyuguhkan aksi konkrit untuk kemanusiaan universal. Dengan kata lain, anggapan Neitzhe (1980) bahwa agama sebagai racun, akan tereduksi dengan perubahan status agama dari sifatnya yang dogmatis dengan mengandaikan hubungan ke langit unsich, menuju post-dogmatis yang memfungsikan dirinya untuk membentuk masyarakat yang adil dan beradab.

Dalam tranformasi sosial, seperti keyakinan Farid Essak (1990), pembebas kulit hitam di Afsel semasa rezim apartheit, Islam dapat mendorong kaum muslim jadi agen terdepan dalam melepaskan belenggu komunitas yang secara sosial, ekonomi, dan budaya telah tertindas (mustadh’afin). Sehingga, berbicara peran agama tidak saja pembentukan mental yang sadar akan “kekuasaan kosmis”, tapi menyelami problem kemanusiaan yang bermunculan di sekelilingnya. Ini memang sulit, memerlukan latihan dan komitmen yang tinggi.

Walhasil, hikmah ibadah haji terletak pada komitmen individu akan kepedulian sosial yang dibutuhkan bangsa ini. Ritual haji terlihat mempunyai korelasi organik dan fungsional dengan pengentasan kemiskinan sebagai wujud dari penghargaan akan kemanusiaan universal yang diteguhkan oleh jalan keislaman itu sendiri. Dan, itu menjadi pesan penting yang sedianya diamalkan oleh orang yang akan dan telah melakukan haji. Walahu a’lam bishshawab.

Sumber :
Ditulis oleh Muhtar Sadili, Staf Pusat Studi Al-Qur'an (PSQ).

1 komentar:

belanjahaji mengatakan...

Semoga jamaah haji Indonesia menjadi Haji yang diterima oleh Allah. Berguna bagi sesama dan sekitarnya, amin. Belanja di tanah suci dari tanah air

Posting Komentar